ini bukan perihal reverse culture shock tapi perihal hati.

Nacka

Somewhere at Nacka


Teringat 2 bulan lalu yang akhirnya bisa berkata dengan leluasa kalau 3 tahun itu sangat tidak terasa, sangat-sangat tidak terasa. Teringat awal-awal di Stockholm yang merasa homesick, bahkan saia butuh satu tahun untuk kemudian sadar bahwa negara itu sama sekali tidak untuk disia-siakan. Bayangkan di awal tahun saia tidak berhenti mengeluh dan membandingkan Indonesia dengan Swedia, tidak berhenti misuh-misuh akan sepi dan dinginnya negara itu, akan terang dan atau gelap yang terlalu lama, entah apa yang terjadi di tahun pertama yang membuat saia betapa sulitnya menikmati negara itu, yang sekarang diagung-agungkan dan diidam-idamkan seakan ingin kembali lagi. Eh.

Saia baru tahu ada istilah reverse culture shock dan mungkin memang ini yang sedang saia rasakan, bahkan sampai sekarang. Setengah mati bertahan untuk tidak membanding-bandingkan. Dalam hati yang selalu misuh-misuh dengan cuaca, langit yang tidak biru akibat polusi, dan populasi Jakarta yang semacam ingin sekali saia hentikan. Menyebrang di zebra cross saja sulitnya setengah mati, antri semacam tanpa jarak dan serasa ingin diserobot, orang-orang dengan santainya berdiri diam sambil mengobrol di eskalator dimana saia terbiasa berdiri di sisi kanan dan membiarkan orang tetap berjalan di sisi kiri meski sudah di eskalator, toleransi akan waktu yang semacam membuat hati semakin kotor akibat misuh-misuh karena sudah telat 5 MENIT dari jadwal. Bahkan saia kaget dengan statement yang saia buat sendiri ketika berbagi kerinduan dengan salah seorang teman yang masih di Stockholm sana, “kangen hidup bebas sendirian”. Sesaat terdiam ketika pesan singkat itu saia sampaikan ke teman saia. Entah apa yang saia mau. Ketika sempat sebal dengan sepi lalu terbiasa dengan sepi dan kembali jauh dari sepi. Duh.

Setelah membaca beberapa blog dan artikel tentang reverse culture shock yang nyata-nyata ada, beberapa menyarankan untuk menulis agar bisa melegakan. Dan saia memilih mengikuti mereka dan berharap segera sembuh. Saia merasa ini semacam penyakit yang harus disembuhkan, entah dengan menulis atau dengan kembali bertemu teman. Untuk berhenti membandingkan sepertinya saia mampu, suatu hari nanti saia yakin saia bisa berhenti membandingkan dan mungkin melupakan Stockholm dengan berbagai kenangannya. Bahkan setelah beberapa hari menulis postingan terakhirpun akhirnya ada perasaan lega. Saia sadar, sepertinya ini bukan perihal negara dengan berbagai keteraturannya yang tidak bisa saia lupakan, tapi perihal siapa yang ada disana dengan kesederhanaan dan ketulusannya, perihal seseorang dimana saia bisa dengan nyaman kentut dan ngupil didepannya. Heu.


Meminjam istilah seorang teman untuk menutup kotak Stockholm dalam hati dan kepala, bagi saia itu masih terlalu cepat, masih terasa berat terutama karena kenangan di tahun terakhir yang semacam tidak bisa ingin saia lupakan. Dengan sadar ada yang ingin saia jaga dan pelihara setidaknya hingga akhir tahun 2017 karena masih ada rasa dan asa yang tersisa, vi ses Stockholm. Tusen tack for allt! 🙂

5 thoughts on “ini bukan perihal reverse culture shock tapi perihal hati.

  1. Hmmm… baru baca postingan lu karena udah lama banget gak ngecek email yang terhubung ke wordpress. Gue sih memang gak separah lu homesick nya, tapi memang pasti ada sesuatu yang dirindukan di Indonesia even itu hanya tukang mie tek tek yang lewat tengah malam. Dan sekarang, setelah kembali di Indonesia, datanglah sesuatu yang dirindukan, even hanya sesederhana langit berwarna biru seperti yang lu tulis (-_-‘). Ini labil atau apa ya namanya :p

Leave a comment